I. Takwa Dalam Perspektif Para Sufi
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang paling takwa (Al Hujurat, 49:13)Untuk memahami pesan-pesan takwa dalam Al Qur’an dan implikasinya dalam kehidupan, ada baiknya pada pendahuluan ini dikemukakan lebih dahulu beberapa pandangan para sufi tentang takwa. Pandangan ini dipilih karena dalam aspek-aspek kajian keislaman lainnya kita belum banyak menjumpai secara khusus pembahasan yang berkaitan dengan takwa.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudry mengatakan bahwa seseorang pernah meminta nasehat kepada Rasulullah, lalu beliau mengatakan: “Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum muslim. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu”. (HR. Abu Ya’la).
Taqwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakekatnya adalah “bahwa seseorang melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan kepatuhan dan ketundukan kepada-Nya. Asal usul taqwa adalah menjaga diri dari syirik, kejahatan dan dosa, dan dari hal-hal yang syubhat, yaitu yang diragukan tentang halal dan haramnya.
Karena itu, Al Muhasibi (W. 243 H/857 M) mengatakan bahwa para sufi sepakat berpendapat bahwa kebahagiaan hamba di dunia dan akhirat tergantung pada nilai ketaqwaannya kapada Allah SWT., dan bukti utama ketaqwaan ialah bersikap wara’ terhadap larangan-larangan Allah, mematuhi perintahnya dan selalu menjaga kesucian hati dari segala yang tidak disukai-Nya. Yang dimaksud dengan wara’ oleh Ibrahim bin Adham (w. 161 H/777 M), ialah “meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dari yang tidak berarti, meninggalkan yang diharamkan, yang makruh dan bahkan yang tidak diperlukan oleh agama”.
Menurut para sufi, menjaga diri dari yang syubhat merupakan kunci untuk pembuka pintu dan jalan yang akan mengantarkan kita kepada taqwa, sedangkan wara’ akan mengantarkan kita ke maqam (tingkatan) tertinggi taqwa. Betapa pentingya kehidupan wara’ untuk mencapai taqwa, ditegaskan oleh Nabi bahwa “seseorang tidak akan mencapai derajat ketakwaan sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena dikhawatirkan akan membawa kepada dosa” (HR. Turmidzi, Ibn Majah dan al Hakim).
Untuk merealisasikan kehidupan wara ini, Nabi sangat tegas memberikan pendidikan terhadap keluarganya “Pada suatu hari al Hasan bin Ali ra. Mengambil sebutir buah kurma di antara kurma sedekah, waktu itu al Hasan masih kecil, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Letakkan! Letakkan!”. (HR. Bukhari).
Baca entri selengkapnya »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar