Salah satu tempat yang nyaris selalu saya singgahi jika berkunjung ke kota Garut, Jawa Barat adalah Masjid Agung Garut. Suasananya yang teduh dan lokasinya yang strategis, tak jauh dari pusat keramaian membuat masjid yang satu ini kerap menjadi tempat transit bagi para pelancong dalam negeri untuk shalat dan beristirahat sejenak. Pilihan mereka tidak keliru. Terlebih di area halaman masjid dan sekitar alun-alun Garut terdapat sejumlah pedagang makanan yang bisa kita pilih untuk mengisi perut setelah lelah menempuh perjalanan. Apalagi pada bulan Ramadhan. Menjelang senja, tempat ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi para wisatawan lokal dan penduduk kota Garut untuk mencari menu tajil.
“Masjid Agung Garut Menjelang Senja (indrakh)” From Garut |
Berbicara mengenai Masjid Agung Garut sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari tapak-tapak sejarah kota maupun Kabupaten Garut itu sendiri. Setelah sempat dibubarkan pada era Daendels akibat rendahnya produksi kopi dari daerah ini, Kabupaten Limbangan yang menjadi cikal bakal Garut akhirnya dibentuk kembali sekitar tahun 1813. Karena Suci yang sebelumnya menjadi ibukota dianggap sudah tidak layak, maka wilayah yang terletak sekitar 5 Km dari arah Suci menjadi pilihan.
Seperti konsep yang banyak diterapkan di mayoritas kota-kota di Indonesia, dimana pusat kota biasa terdiri dari alun-alun, masjid, penjara, pusat pemerintahan, dll, pemerintah zaman itu pun menerapkan hal yang sama pada kota ini. Maka bila ditilik dari sisi sejarah, Masjid Agung Garut ini termasuk salah satu masjid tertua di bumi Priangan.
“Interior Masjid Agung Garut (indrakh)” From Garut |
Wajah masjid yang bisa Anda lihat saat ini juga bukan rupa yang sama dengan Masjid Agung Garut pada awal abad ke 19. Perubahan mencolok terletak pada bentuk kubah. Seperti umumnya masjid di Priangan termasuk Masjid Agung Bandung, Masjid Agung Garut pada masa itu pun menganut konsep tajuk tumpang tiga atau lebih dikenal dengan atap “nyungcung.” Itulah mengapa di tanah sunda jaman baheula (dulu – red) sering kita dengar istilah “ka bale nyungcung” untuk menggambarkan pasangan yang akan melakukan akad nikah di masjid agung.
Masjid yang terletak di Jl. Ahmad Yani, Garut ini entah sudah berapa kali mengalami renovasi. Namun yang tercatat pada batu prasasti di Masjid tersebut menyatakan bahwa renovasi pernah dilakukan pada 10 November 1994 dan rampung pada 25 Agustus tahun 1998.
Semoga saja keberadaan salah satu saksi bisu sejarah peradaban kota Garut ini bisa terus terpelihara. Tetap nyaman, asri dan tidak terdesak oleh bangunan lain yang berpotensi merusak wajah masjid itu sendiri. Sebagai warga Bandung, saya sendiri sering merasa iri bila melihat masjid-masjid di kota lain yang bisa menjadi landmark bagi kotanya. Sungguh beda dengan nasib Masjid Agung Bandung, yang meski sudah direnovasi namun tetap saja tidak bisa tampil ke depan sebagai icon pusat kota karena sudah dikepung oleh Mal dan gedung perkantoran.
***
Tulisan ini boleh jadi merupakan sequel dari episode jelajah masjid yang pernah saya tampilkan pada bulan Ramadhan tahun lalu. Berikut ini kupasan jelajah masjid sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar